Minggu, 18 April 2010

HUT PDI PERJUANGAN KE 37 DI DPC PDI PERJUANGAN KABUPATEN KUDUS

Memasuki usia yang ke 37 tahun, PDI Perjuangan serentak memperingati hari jadinya yang jatuh pada tanggal 10 Januari 2010. Begitu juga dengan DPC PDI Perjuangan Kabupaten Kudus. DPC Partai yang baru melaksanakan reorganisasi pada tanggal 7 Januari 2010 dan telah menghasilkan kepengurusan yang baru di bawah kepemimpinan Bapak H. Musthofa (BUpati Kudus).

HUT PDI Perjuangan di Kabupaten Kudus dilaksanakan pada tanggal 28 Januari 2010 bertempat di gedung Wanita Ngasirah Kudus dihadiri tidak kurang dari 2.000 orang yang terdiri dari oleh seluruh struktural Partai dari DPC Partai, PAC dan Ranting se-Kabupaten Kudus, kader maupun simpatisan juga dihadiri oleh para Camat, pimpinan Instansi Pemerintah serta Para Kepala desa, komponen kampus sebagai tamu undangan serta yang lainnya.

Pada HUT PDI Perjuangan kali ini, panitia menyadiakan berbagai macam dorprize, diantaranya paying, jam tangan, kipas angina, kompor gas, sepeda gunung, televise dan sebuah hadih utama berupa lemari es yang kesemuanya diundi pada saat itu juga. Selain dorprize, HUT tersebut juga diramakan dengan pagelaran Tari Gambyong serta pentas musik.

Bapak H. Musthofa selaku ketua DPC Partai dalam pidatonya menyampaikan bahwa PDI Perjuangan ini merupakan partainya wong cilik (rakyat kecil) dan bertekad untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di Kabupaten Kudus. Selain itu, di sampaikan bahwa PDI Perjuangan ini merupakan wadah dari kaum marhen. Harapannya, kaum nasionalis dan marhenis supaya kembal ke rumah besar kaum nasionalis. Sehingga pada HUT PDI Perjuangan tersebut langsung dicanangkan sebagai Rumah Besar Kaum Nasionalis.

Rummas Besar Kaum nasionalis mempunyai arti bahwa kaum nasionalis dan marhenis yang selama ini terpecah-pecah diajak bersatu kembali dalam keluarga besar PDI Perjuangan.



Kemungkinan Munculnya Calon Independen Dalam Pilkada Kabupaten Kudus

Setelah munculnya judicial revieu dari Mahkamah Agung tentang pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah Baik ditingkat Peopinsi maupun Kabupaten atau Kota, yang menyatakan bahwa calon individu diperkenankan untuk berpartisipasi dalam pemilihan tersebut. Ternyata judicial reviu tersebut membawa pro dan kontra ditengah-tengah masyarakat. Sebagian masyarakat menyatakan mendukung dan sebagian masyarakat menolaknya. Masing-masing mempunyai alasan yang mendasar, yang pro terhadap keputusan MA tersebut banyak didasari pada rasa demokratisasi yang berkembang selama ini dan itu merupakan hak setiap warga negara yang perlu untuk dihargai. Sedangkan yang kontra banyak didasari pada faktor sistem keterwakilan sebagaimana termaktub dalam UUD 1945, baik keterwakilan dari sistem parlementer maupun keterwakilan dalam sistem kepartaian.

Jika dicermati lebih jauh mengenai Pemilihan Pilkada langsung yang dimulai setelah diberlakukannya UU Nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah, maka sistem pemilihan kepala daerah yang dahulunya dipilih melalui lembaga legislatif berubah dengan mekanisme pemilihan dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.

Dengan adanya perubahan pada sistem pemilihan kepala daerah tersebut, menyebabkan terjadinya sesuatu termasuk harapan yang baru. Artinya bahwa perubahan pada sistem pemilihan tersebut membawa konsekuensi tersendiri bagi pelaksanaannya maupun bagi masyarakat yang ikut terlibat baik langsung mapun tidak langsung. Keterlibatan langsung masyarakat dalam partisipasi penentuan jajaran teratas eksekutif di daerah tentu mempunyai ekses yang tidak sedikit. Antara lain Tingkat kesadaran masyarakat yang belum sepenuhnya ‘melek’ politik jika tidak diimbangi dengan pendidikan politik yang kontinyu dikhawatirkan hanya mengedepankan kepentingan sesaat dan masyarakat mudah dikelabuhi demi kepentingan sekelompok individu maupun kepentingan sesaat.

CALON INDEPENDEN

Adanya pro dan kontra tentang pemilihan Kepala Daerah secara langsung , terutama kemungkinan munculnya calon independen dapat dilihat dari beberapa sudut pandang, yaitu dari sudut pandang masyarakat umum dan partai politik.

a. Sudut Pandang Masyarakat.

Masyarakat umum dalam hal ini bisa dikatakan sebagai ‘obyek’ dari kebijakan dan kepentingan tertentu, pandangan ini tidak sepenuhnya salah. Bisa dilihat dari banyak sudut pandang kepentingan, baik negara maupun kelompok individu.

Jika dianalisa dari sudut pandang kepentingan negara bisa dimaknai bahwa masyarakat adalah tujuan pokok dari pembuatan dan pelaksanaan kebijakan yang pada akhirnya diperuntukkan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dari sudut pandang kepentingan kelompok, bahwa dalam pelaksanaan dari makna demokrasi yang sebenarnya bermuara pada pemanfaatan demi tercipta atau tercapainya kepentingan masyarakat.

Sudut pandang dari kepentingan individu atau kelompok, masyarakat berfungsi sebagai pengumpul suara untuk mencari legitimasi yang sah dalam menggalang pencapaian suatu dukungan politik. Hal tersebut memang sah dan legitimasi masyarakat dalam pencapaian kekuasaan diperlukan.

Setelah reformasi bergulir di tahun 2008, memunculkan banyak perubahan terutama yang terjadi khususnya nuansa demokratisasi. Dimana kebebasan dalam menyampaikan pendapat dan menentukan tingkat partisipasi mendapat perlindungan hukum yang pasti.

Hal ini dibuktikan dengan merebaknya partai politik yang mengikuti jalannya Pemilihan Umum tahun 2009 dan setelah itu berlanjut dengan pelaksanaan Pemilihan Umum 2004, dimana pada saat itu, pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat. Setelah itu seiring dengan pemberlakuan UU No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintah daerah, maka sebagai konsekuensi setiap pemilihan kepala daerah dilaksanakan secara langsung, bebas, Rahasia, jujur dan adil.

Hal yang terbaru dalam dinamika demokrasi kebangsaan adalah judicial reviu dari MA pasal 56 ayat (2), yaitu Pasangan calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Dengan demikian dengan adanya judicial reviu tersebut, maka konsekuensi yang ada adalah munculnya calon independen dalam pemilihan kepala daerah.

Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah langsung yang melibatkan calon independen untuk saat ini ternyata masih menjadi hal yang kontra produktif ditengah-tengah masyarakat. Opini yang berkembang banyak mengulas tentang sarana maupun prasarana mulai dari perangkat lunak (shoftwere) maupun perangkat keras (hardwere).

Shoftwere yang dimaksud adalah dasar yang menjadi payung hukum dalam pelaksanaan pilkada sampai saat ini belum memungkinkan untuk dilakukan. Kajian dan perubahan pada UU No. 32 tahun 2004 belum juga terealisasi dan setelah ditetapkan tentu harus disosialisasikan terlebih dahulu dan masih diperlukannya uji materiil dari isi UU tersebut.

Selain itu, Banyak yang berpendapat bahwa pelibatan calon independen itu bertentangan dengan UUD 1945. Dalam UUD 1945 dinyatakan bahwa penyelenggaraan pemerintahan itu menggunakan sistem keterwakilan, baik keterwakilan melalui pemilihan legislatif maupun keterwakilan melalui lembaga yang sah untuk itu, yaitu partai politik.

Jika dilihat dari sisi pendewasaan politik masyarakat, ternyata secara garis besar masyarakat belum siap untuk dilaksanakannya pilkada dengan melibatkan calon dari independen. Keterbatasan pemahaman makna demokrasi dan sifat tradisionalitas dari masyarakat memungkinkan banyaknya terjadi benturan-benturan yang seharusnya tidak perlu terjadi. Jika terjadinya benturan kemudian siapa yang akan bertanggung jawab?

Demikian juga, jika Pilkada langsung yang melibatkan calon independen dilaksanakan di Kabupaten Kudus, tentu tidak akan jauh berbeda dengan kondisi secara umum yang terjadi dibanyak daerah. Faktor dasar hukum pelaksanaan, kesiapan dan pemahaman masyarakat tentang makna demokrasi masih menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Apalagi dengan waktu yang sedemikian pendek jarak antara pelaksanaan Pilkada dengan kemungkinan diselesaikannya perubahan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.

b. Sudut Pandang Partai Politik.

Partai politik dalam kapasitasnya di tengah-tengah masyarakat secara ideal mempunyai peran sebagai wadah untuk melaksanakan pendidikan politik masyarakat. Pendidikan politik memegang peranan sentral dalam rangka peningkatan kualitas sumber daya manusia yang sadar politik. Kesadaran politik akan memunculkan tingkat partisipasi masyarakat dalam setiap moment politik serta penyikapan terhadap problematika politik diharapkan tidak mengandalkan pressure kekerasan.

Partai politik dalam UU NO. 32 Tahun 2004 merupakan lembaga yang legitimate terhadap keputusan politik, terutama dalam pengusungan calon kepala daerah yang akan bertarung dalam Pilkada.

Sebagai suatu konsekuensi dengan dijalankannya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, maka pelaksanaan Pilkada dilaksanakan secara langsung dengan melibatkan seluruh masyarakat yang mempunyai hak pilih. Dalam hal ini, kedudukan partai politik dalam UU tersebut mempunyai peran sebagai pengusung calon kepala daerah tentu dituntut untuk lebih meningkatkan kontribusi terhadap rakyatnya.

Disisi lain, fenomena yang berkembang di masyarakat mengenai ketidak percayaan terhadap partai politik, menuntut organ-organ partai untuk lebih kerja keras dalam menggalang kembali kepercayaan yang hilang tersebut. Ketidakpercayaan masyarakat terhadap partai politik luntur dikarenakan banyak partai politik yang tidak dekat dengan konsituennya. Apalagi dalam menghadapi setiap moment lima tahunan baik ditingkat pusat maupun daerah.

Pemilihan Kepala daerah secara langsung, harus diakui atau tidak akan membawa suatu persaingan yang lebih ketat diantara konstestan, yaitu partai politik untuk memenangkan calon yang diusungnya. Ujian secara nyata diterima atau tidak partai politik ditengah-tengah msayarakat nanti ditentukan.

Satu perubahan paradigma yang harus dibangun oleh partai dalam menyakinkan konsituennya adaah bagaimana partai politik mampu untuk menunjukkan keseriusan dalam memperjuangkan kepentingan rakyat. Bukan saatnya lagi partai untuk main slogan dengan janji-janji yang belum tentu terealisir. Pembuktian untuk saat ini akan semakin berat lagi setelah judicial reviu MA yang memperbolehkan calon independen untuk ambil bagian dalam pemilihan kepala daerah.

Terlepas dari pro dan kontra dengan keterlibatan dari calon independent tersebut, partai politik harus lebih bekerja keras lagi untuk membuktikan bahwa partai masih layak untuk diberi kepercayaan dalam memperjuangakan kesejahteraan rakyat.

Pandangan partai politik tentang pelaksanaan Pilkada dengan diperbolehkannya calon independen didasari pada hukum yang memperbolehkannya atau tidak. Selama dasar hukum belum memungkinkan, maka bisa dipastikan calon independen akan ditolaknya.

Kemungkinan dilibatkannya calon independen dalam pilkada harus adanya perubahan mendasar pada pasal-pasal krusial yang ada pada UU No. 32 Tahun 2004 dan perubahan tersebut tidak cukup dengan Peraturan Pemerintah Pengganti UU saja, tetapi harus pada revisi UU. Dikarenakan kekuatan hukum PP Penganti UU masih berada dibawah UU. PP Penganti UU bisa dilaksanakan apabila hanya mengatur hal-hal yang tehnis, sebagaimana pengaturan tentang jumlah pemilih dalam tiap-tiap TPS. Dalam UU No. 32 Tahun 2004 dinyatakan bahwa tiap-tiap TPS dibatasi jumlah Maksimal 300 orang, tetapi kemudian ditambah menjadi 600 pemilih tiap TPS.

Hal ini menjadi dasar pijakan yang kuat, supaya legitimasi dari hasil pelaksanaan Pilkada dengan melibatkan calon independen dapat dipertanggung jawabnya baik secara hukum maupun dihadapan publik.